Rabu, 29 September 2010

Kerajaan Melayu Riau

Kerajaan Melayu Riau Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?

Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.

Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh.

Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa Melayu itu berlangsung.

Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.

Pusat Bajak Laut
Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.

Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris.

Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.

Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.

Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.

Saham Raja Kecil
Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.

Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).

Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor (1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.

Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri.

Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab, dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.

Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.

Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.

Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.

Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.

Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”

Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu. (bersambung)

Cerita Rakyat Pekanbaru Riau – Putri Kaca Mayang

Kota Pekanbaru adalah salah satu Daerah Tingkat II sekaligus sebagai ibukota Provinsi Riau, Indonesia. Sebelum ditemukannya sumber minyak, Pekanbaru hanyalah sebuah kota pelabuhan kecil yang berada di tepi Sungai Siak. Namun, saat ini Pekanbaru telah menjadi kota yang ramai dengan aktifitas perdagangannya. Letaknya yang strategis (berada di simpul segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura), menjadikan Kota Pekanbaru sebagai tempat transit (persinggahan) para wisatawan asing, baik dari Singapura maupun Malaysia, yang hendak berkunjung ke Bukittinggi atau tempat-tempat lain di Sumatera.

Keberadaan Kota Pekanbaru yang ramai ini memiliki sejarah dan cerita tersendiri bagi masyarakat Riau. Terdapat dua versi mengenai asal-mula kota ini yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat. Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang). Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang. Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau.

Sementara menurut versi cerita rakyat yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Riau, kerajaan yang berdiri di tepi Sungai Siak itu bernama Gasib. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang bernama Gasib. Konon, Raja Gasib memiliki seorang putri yang cantik jelita, namanya Putri Kaca Mayang. Namun tak seorang raja atau bangsawan yang berani meminang sang Putri, karena mereka segan kepada Raja Gasib yang terkenal memiliki panglima gagah perkasa yang bernama Gimpam. Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan diri meminang sang Putri, namun pinangannya ditolak oleh Raja Gasib. Karena kecewa dan merasa terhina, Raja Aceh berniat membalas dendam. Apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Gasib? Bagaimana nasib sang Putri? Lalu, apa hubungannya cerita ini dengan asal mula Kota Pekanbaru? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Kaca Mayang berikut ini.

* * *

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal, karena mempunyai seorang panglima yang gagah perkasa dan disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu pun kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.

Selain itu, Kerajaan Gasib juga mempunyai seorang putri yang kecantikannya sudah masyhur sampai ke berbagai negeri, Putri Kaca Mayang namanya. Meskipun demikian, tak seorang raja pun yang berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang gagah berani itu.

Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang panglimanya untuk menyampaikan maksud pinangannya kepada Raja Gasib. Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor seorang utusan. “Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang bernama Putri Kaca Mayang,” tambah utusan yang satunya.

“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami kepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.

Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat untuk menyerang Kerajaan Gasib.

Sementara itu, Raja Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar Sungai Siak.

Rupanya segala persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain untuk masuk ke negeri Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.

“Hai, orang muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib. “Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu. Karena mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tidak ingin menghianati negerinya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tidak tahan dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah Gasib.

Berkat petunjuk pemuda itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pada saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja Gasib yang sedang bercengkerama dengan keluarga istana tidak mengetahui jika musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah untuk melawan sudah terlambat. Semua pengawal yang tidak sempat mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.

Panglima Gimpam yang mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke istana.

Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh untuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah Panglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk menghadang Panglima Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu ke istana untuk diserahkan kepada Raja Aceh.

Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali ke istana Gasib.

Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Mayang yang sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri susah untuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam untuk berhenti sejenak. “Panglima! Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku di istina Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri ke istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang ke hadapan Raja Gasib.

Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam yang membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan istana dan menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.

Untuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun berniat untuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang setia, membuat Panglima Gimpam tidak ingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Ia pun tidak mau mengambil milik orang lain walaupun kesempatan itu ada di depannya.

Akhirnya, atas kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan baru, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai untuk menyebut nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.

* * *

Cerita rakyat di atas tidak hanya mengandung nilai-nilai sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral tersebut adalah sifat setia dan tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kedua sifat tersebut tercermin pada sifat Panglima Gimpam. Kesetiaan Panglima Gimpam ditunjukkan pada sifatnya yang tidak mau bersenang-senang di atas penderitaan rajanya, Raja Gasib. Ia tidak mau menikmati segala kesenangan dan kemewahan yang ada dalam istana, sementara rajanya hidup menderita dan dirundung perasaan sedih, karena ditinggal mati oleh putri tercintanya. Di samping itu, Panglima Gimpam juga merasa bahwa ia tidak berhak untuk menikmati segala kemewahan itu, karena bukan hak miliknya.

Dalam kehidupan orang Melayu, hak dan milik, baik dimiliki pribadi, masyarakat, atau penguasa sangatlah dijunjung tinggi. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “yang hak berpunya, yang milik bertuan.” Dalam ungkapan adat juga disebutkan, “hak orang kita pandang, milik orang kita kenang, pusaka orang kita sandang,” yang maksudnya adalah hak dan milik orang wajib dipandang, dikenang, dipelihara, dihormati, dan dijunjung tinggi. Merampas dan menguasai hak milik orang secara tidak halal atau tidak sah, oleh orang tua-tua Melayu dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan diyakini akan dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan ungkapan adat Melayu yang mengatakan:

apa tanda orang terkutuk,
mengambil milik orang lain ia kemaruk

apa tanda orang celaka,
mengambil hak orang lain semena-mena

Orang tua-tua Melayu juga senantiasa mengingatkan kepada anak kemenakan ataupun anggota masyarakatnya, agar tidak menuruti hawa nafsu, menjauhkan sifat loba dan tamak terhadap harta. Kalaupun memiliki harta benda, hendaknya dipelihara dengan baik dan benar supaya dapat memberikan manfaat bagi kehidupan di dunia dan di akhirat. Tennas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” banyak menyebutkan tentang kemuliaan memelihara dan memanfaatkan hak milik, baik dalam bentuk ungkapan, syair, maupun pantun. Dalam bentuk ungkapan di antarnya:

apa tanda Melayu jati,
hak miliknya ia cermati
hak milik orang lain ia hormati

apa tanda Melayu jati,
memanfaatkan hak milik berhati-hati

apa tanda Melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela

Dalam untaian syair dikatakan:

wahai ananda buda berpesan,
harta orang engkau haramkan
milik orang engkau peliharakan
hak orang engkau muliakan

Dalam untaian pantun juga dikatakan:

buah barangan masak setangkai
patah tangkai jatuh ke tanah
harta orang jangan kau pakai
salah memakai masuk pelimbah

(SM/sas/27/9-07)

Sumber :

* Diringkas dari Puteri Kaca Mayang: Asal-Mula Kota Pekanbaru.
* Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu.
* Indonesian Community. Sejarah Berdirinya Kota Pekanbaru.
* Anonim. Profil Kabupaten/Kota: Kota Pekanbaru Riau.

Si Lancang Kuning (Cerita Rakyat Riau)

Si Lancang Kuning (Cerita Rakyat Riau)

Alkisah tersebutlah sebuah cerita,
di daerah Kampar pada zaman dahulu
hiduplah si Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat
miskin. Mereka berdua
bekerja sebagai buruh tani.

Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.

Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya
sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang.

Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia
menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal
dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua
berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal
di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.

Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia
membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah
dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat
musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka
hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan
kemewahan dan kekayaan Si Lancang.

Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan
terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya
tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung
usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri dia naik ke
geladak kapal mewahnya Si Lancang.

Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada
seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu
tua tersebut. Tetapi perempuan itu tidak mau beranjak. Ia ngotot minta
untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menimbulkan
keributan.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh
ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika
menyaksikan bahwa perempuan compang camping yang diusir itu adalah ibunya.

Ibu si Lancang pun berkata, "Engkau Lancang ... anakku! Oh ... betapa
rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang
menepis. Anak durhaka inipun berteriak, "mana mungkin aku mempunyai ibu
perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini."

Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di
rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung
penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya
dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, "ya Tuhanku ...
hukumlah si Anak durhaka itu."

Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat
dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik
Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda
miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan
jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya
terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang
menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar
hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.

(Disadur dari B. M. Syamsuddin, "Banjir Air Mata Si Lancang," Cerita
Rakyat Dari Riau 2, Jakarta: PT Grasindo, hal. 44-49).

Cerita Rakyat Inhil, Riau – Batang Tuaka

Kabupaten Indragiri Hilir masuk dalam wilayah propinsi Riau, Indonesia, dan dijuluki sebagai “Negeri Seribu Parit‘. Di daerah ini rawa-rawa terhampar luas dan sungai-sungai terbentang hampir ke seluruh wilayah kecamatan. Sungai terbesar di daerah ini adalah Sungai Indragiri yang berhulu di pegunungan Bukit Barisan (Sumatera Barat) dan bermuara di Selat Berhala, sedangkan sungai-sungai lainnya hanya merupakan anak sungai dari Sungai Indragiri. Salah satu anak sungai yang sangat terkenal di Indragiri Hilir adalah Sungai Batang Tuaka yang berada di Kecamatan Batang Tuaka. Konon, nama “Sungai Batang Tuaka” diambil dari sebuah cerita legenda yang populer di kalangan masyarakat Indragiri Hilir. Legenda tersebut mengisahkan tentang seorang anak yang durhaka kepada emaknya, sehingga Tuhan menghukum anak itu karena kedurhakaannya. Siapakah anak durhaka itu? Bagaimana anak itu durhaka kepada emaknya? Hukuman apa yang Tuhan berikan padanya? Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, ikuti kisahnya dalam Legenda Batang Tuaka.

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah seorang janda tua bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua di sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai Indragiri Hilir). Mereka tak punya sanak-saudara dan harta sedikit pun. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk hidup sehari-hari Tuaka membantu emaknya mengumpulkan kayu api dari hutan-hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia, dengan demikian emaknya harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya, Tuaka.

Suatu hari, Tuaka bersama emaknya pergi ke hutan di sekitar sungai. Mereka mencari kayu api untuk dijual dan untuk memasak sehari-hari. Setelah memperoleh kayu api cukup banyak, mereka berdua akhirnya pulang. “Mak, kalau Emak lelah biarlah Tuaka saja yang menggendong kayu apinya,‘ kata Tuaka saat melihat emaknya kelelahan. “Tak apa, Tuaka. Emak masih kuat. Lagi pula, kayu bakar yang ada padamu juga banyak,” jawab Emak Tuaka sambil melanjutkan langkahnya.

Di tengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan oleh suara desisan yang cukup keras. “Mak! Suara apa itu?”, tanya Tuaka pada emaknya. “Sepertinya itu suara ular berdesis”, jawab emaknya. Ternyata benar, tak jauh dari mereka, dari arah tebing sungai tampak dua ekor ular besar sedang bertarung. Tampaknya mereka sedang memperebutkan sebuah benda. “Tuaka, sembunyilah. Ada ular besar yang sedang berkelahi,” perintah Emak Tuaka. Tuaka dan emaknya segera berlindung di balik sebuah pohon yang cukup besar. Dari balik pohon itu, Tuaka dan emaknya terus menyaksikan dua ekor ular itu saling bergumul dan belit-membelit. “Apa yang mereka perebutkan, Mak?” tanya Tuaka. “Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui keberadaan kita,” jawab Emak Tuaka dengan suara berbisik.

Tak lama kemudian, perkelahian kedua ekor ular tersebut akhirnya usai. Tuaka dan emaknya keluar dari balik pohon, lalu mendekat ke tempat kejadian itu. Mereka mendapati salah satu ular sudah mati, sedangkan ular lainnya terluka. Ular yang terluka itu menggigit sebuah benda berkilau, yang ternyata adalah sebutir permata (kemala) yang sangat indah. Ular itu tampak kesakitan oleh luka-lukanya. “Mak, kasihan ular yang terluka itu. Mari kita tolong,” kata Tuaka kepada emaknya dengan nada mengajak. “Ya, mari kita bawa pulang, supaya kita bisa obati di rumah,” jawab Emak Tuaka. Tuaka memasukkan ular itu ke dalam keranjang yang dibawa emaknya, lalu memanggulnya pulang. Sampai di rumah, Emak Tuaka segera mencari daun-daunan yang berkhasiat, menumbuknya, lalu membubuhkannya pada luka-luka di tubuh ular itu, sedangkan Tuaka sibuk memberinya minum air sejuk.

Beberapa hari kemudian, ular yang sudah mulai sembuh itu tiba-tiba hilang dari keranjang. Permata yang selalu dia lindungi di dalam lingkaran badannya ditinggalkan di dalam keranjang. Tuaka dan emaknya terheran-heran, lalu mereka mengamati parmata itu dengan kagum. “Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?” tanya Tuaka kepada emaknya. “Berangkali dia ingin berterima kasih kepada kita, karena kita sudah menolongnya. Sebaiknya kita jual saja permata ini kepada saudagar. Uangnya kita gunakan untuk berdagang supaya kita tidak hidup misikin lagi,” jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur. Tuaka pun setuju dengan tawaran emaknya.

Keesokan harinya, Tuaka pergi ke bandar yang ramai dengan para saudagar. Sesampai di bandar, Tuaka berkeliling kesana-kemari mencari saudagar yang berani membeli permatanya dengan harga yang tinggi. Hampir semua saudagar di bandar itu ia tawarkan, namun tak ada yang berani membelinya. Tuaka pun mulai putus asa. Tuaka berniat membawa pulang pertama itu kepada emaknya. Namun, ketika sampai di ujung bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar yang sepertinya belum ia tawarkan. Tuaka menghampiri saudagar itu, kemudian menawarkan permatanya dengan harga yang tinggi. Tampaknya, saudagar itu sangat tertarik setelah mengamati permata berkeliau itu. “Aduhai elok sangat batu permata ini! Aku sangat ingin memilikinya. Harga yang kau tawarkan itu memang tinggi, tapi aku tetap akan membelinya,” kata sang Saudagar. Kalau begitu, apa lagi yang Tuan tunggu? Tuan hanya tinggal membayarnya,” desak Tuaka dengan hati berdebar karena bahagia. “Uang yang aku bawa tak cukup, Nak! Jika kamu mau, kamu boleh ikut denganku ke Temasik untuk mengambil kekurangannya,” kata sang Saudagar. Tuaka tampak termenung sejenak memikirkan tawaran sang Saudagar. “Ehm, baiklah Tuan. Saya nak ikut Tuan ke Temasik,” jawab Tuaka. Setelah itu, Tuaka pulang ke rumahnya untuk menceritakan masalah ini pada emaknya. Akhirnya, Emak Tuaka mengizinkannya berangkat ke Temasik (Singapura). Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju Temasik. Sepanjang perjalanan, Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan diperolehnya nanti.

Setibanya di Temasik, sang Saudagar membayar uang pembelian permata kepada Tuaka. Karena uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada ibu dan kampung halamannya. Dia menetap di Temasik. Beberapa tahun kemudian dia telah menjadi saudagar kaya. Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumah Tuaka sangatlah megah, kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewahan. Dia tak lagi peduli emaknya yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah tidak.

Suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka berlabuh di kampung halaman Tuaka. Sebenarnya Tuaka masih ingat dengan kampung halamannya tersebut. Akan tetapi, rupanya dia enggan menceritakan kepada istrinya bahwa di kampung yang mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah tua-renta dan miskin.

Sementara itu, berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-tahun tak terdengar kabar beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu anaknya, Emak Tuaka pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka. “Tuaka, Anakku. Emak sangat merindukanmu, Nak!” teriak Emak Tuaka saat melihat Tuaka dan istrinya di atas kapal megah itu. “Siapa gerangan wanita tua itu, Kakanda? Mengapa dia menyebut Kakanda sebagai anaknya?” tanya istri Tuaka dengan wajah tidak senang.

Tuaka terkejut bukan kepalang melihat emaknya di atas sampan berteriak memanggilnya. Dia tahu wanita dengan pakaian compang-camping itu memang emaknya, tetapi dia tak sudi mengakuinya. Dia sangat malu pada istrinya. “Hei, jauhkan wanita miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka dari atas kapal. “Ya, usir dia jauh-jauh dari sini,” tambah istri Tuaka sambil bertolak pinggang. Mendengar perintah dari tuannya, anak buah Tuaka segera mengusir wanita miskin nan malang itu menjauh dari kapal.

Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia bersampan menjauhi kapal Tuaka. “Oh, Tuhan. Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka terucap, tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia berubah menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat anaknya berubah menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai seorang ibu ia sangat mencintai anaknya.

Burung elang dan burung punai tersebut terbang berputar-putar di atas muara sungai sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka. Kemudian oleh masyarakat setempat mengganti kata “sungai” ke dalam bahasa Melayu menjadi “batang”, sehingga nama “Sungai Tuaka” berubah menjadi “Batang Tuaka”. Sejak itu pula, daerah di sekitar muara sungai tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal dengan Kecamatan Batang Tuaka yang masuk dalam wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Indonesia.

Masyarakat Melayu Indragiri, baik di hilir maupun hulu sungai, meyakini legenda ini benar-benar pernah terjadi pada zaman duhulu kala di sekitar muara sungai Indragiri. Jika ada suara jerit elang berkulik pada siang hari di sekitar muara Sungai Tuaka, masyarakat setempat meyakini bahwa suara burung tersebut sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.

Legenda Batang Tuaka ini sangat populer di kalangan masyarakat Riau, sehingga sering diangkat dalam lakon sandiwara semasa tahun 1962-1972. (SM/sas/3/7-07)

Sumber:

* Yulia S. Setiawati, Daryatun. Legenda Batang Tuaka.
* Hikmat Ishak. Indragiri Hilir:

Ombak Nyalo Simutu Olang

Ombak Nyalo Simutu Olang

Ombak Nyalo Simutu Olang adalah sebuah cerita yang telah melegenda di Kabupaten Kuantan Singingi, tepatnya di Desa Pangean. Cerita ini masih melekat erat pada masyarakat Pangean. Bahkan nama Ombak Nyalo Simutu Olang digunakan sebagai nama Jalur di ajang Pacu Jalur, sebuah kebudayaan Kuantan Singingi yang telah menjadi event nasional serta masuk agenda wisata Nasional.

TEMPAT KEJADIAN

Cerita ini tejadi di sebuah desa yang bernama Pangean. Tepatnya disebuah sungai yang bernama Batang Pangean. Pangean adalah suatu negeri yang terletak dalam daerah Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi.

Tidak berapa jauh dari Pasar Usang, disebelah baratnya mengalir sebuah sungai Batang Pangean. Sungai itu berasal dari anak-anak sungai yang terkenal dengan nama sungai Tesso. Didalam sungai ini hidup berjenis-jenis ikan yang dapat menambah penghasilan rakyat yang hidup disekitarnya.

Apabila sungai ini banjir, air bergerak naik, ikan-ikan mulai memasuki sungai melalui sungai kuantan. Melihat ikan yang begitu banyak, penduduk Pasar Usang dan sekitarnya berebut-rebut menahan lukah untuk menangkap ikan yang masuk menuju ke hulu sungai.Salah satu tempat berkumpulnya ikan-ikan itu adalah disuatu lubuk yang bernama Lubuk Sayak.

Dilubuk inilah masyarakat berebut-rebut memasang lukah, menjala, merosok, meambai dan memosok. Musim kemarau, masyarakat bersiap-siap membuat lukah, jala, ambai dan posok. Alat penangkap ikan yang dianggap paling praktis digunakan untuk menangkap ikan adalah lukah. Untuk daerah rantau kuantan jika air meluap.

Masyarakat disekitar lubuk sayak telah mempersiapkan lukah. Negeri Pangean merupakan suatu negeri yang mempunyai banyak ragam kebudayaan di daerah rantau kuantan. Negeri Pangean merupakan pusat pengembangan olah raga bela diri yang terkenal dengan nama ‘Silat Pangean’.

Menurut orang tua-tua di Pangean ini banyak sekali cerita-cerita rakyat, yang bukti peninggalan cerita itu masih dapat dilihat dan dibuktikan kebenarannya. Dalam buku ini, cerita yang akan diungkapkan, adalah cerita “Ombak Nyalo dan Simutu Olang”.

Jarak negeri Pangean ke kota Teluk Kuantan lebih kurang 35 Km, dengan Pasar Baserah 7 Km. Masyarakat Pangean hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. Seni bela diri yang terkenal di daerah ini adalah silat pedang, silat tangan dan silat perisai yang tetap berkembang dan lestari hingga sekarang ini. Kemampuan guru-guru silat dalam mempertahankan dirinya di negeri ini telah banyak membuktikan kemampuannya baik didalam maupun diluar daerah Rantau Kuantan Singingi. Dalam lingkungan pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi, daerah Pangean terletak antara Kecamatan Benai dan Kecamatan Kuantan Hilir. Negeri tetangga yang terdekat dengan Pangean adalah disebelah barat Simandolak dan Siberakun dan disebelah timur berbatasan langsung dengan Baserah.

DUA SEKAWAN MEMASANG LUKAH

Salah satu alat penangkap ikan di negeri Pangean adalah lukah, lukah ini ada yang kecil, ada yang menengah dan ada yang besar. Yang kecil ini untuk menangkap ikan yang kecil, lukah yang sedang untuk menangkap ikan yang sedang pula, sedangkan lukah yang besar untuk menangkap ikan yang besar seperti ikan tapah dan patin.

Menangkap ikan adalah merupakan kegemaran masyarakat. Kebiasaan masyarakat, sebelum membangkit lukah yang besar, mereka terlebih dahulu menjenguk lukah yang kecil yang dipasang dalam sungai-sungai kecil. Menurut lazimnya mereka kerjakan kalau air banjir lukah-lukah penuh berisi ikan lampan atau sejenisnya.

Dua orang datuk yang sangat akrab, yaitu Datuk Topo, penghulu suku Melayu dengan Datuk Siak Pokih penghulu suku Paliang, keakraban kedua datuk ini sangat tinggi. Mereka seperti merpati dua sejoli, laksana pohon aur dengan tebing, seperti kuku dengan jari. Keakraban itu sampai memasang lukah di lubuk sayak. Kalau mendapat ikan selalu dibagi sama banyak. Kalau ikan dijual, ya sama dijual. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, pada hari pertama kejadian, dua sekawan menjenguk lukahnya tak berisi sama sekali. Umpan dalam lukah habis dimakan ikan, namun ikannya entah kemana. Dalam hati kedua datuk timbul tanda tanya, kecurigaan mulai datang, keinginan untuk membuktikan kasus ini mulai tumbuh, Untuk membuktikan kecurigaan ini, masing-masing mulai menyelidiki.

Siapa pelaku pencuri ikan dalam lukah mereka berdua. Selesai sholat subuh kedua datuk yang sehati dan sejiwa ini berangkat untuk mencari tau siapa yang sebenarnya telah mengambil ikan yang ada didalam lukah mereka. Di pagi buta itu Datuk Topo dan Datuk Siak Pokih bergerak mendekati lukah pertamanya dari kejauhan mereka melihat seorang gadis cantik berjalan di dekat lukah yang sedang terpasang. Gadis itu langsung mengangkat dan mengambil ikan yang ada pada lukah tersebut, pada mulanya kedua datuk ini tidak percaya gadis itu pencuri ikan dalam lukahnya, karena wajahnya yang cantik dan bentuknya yang menarik tidak mungkin seorang pencuri. Kemudian kedua datuk sekawan itu terus mengintip dan mengikuti gerak-gerik gadis itu sampai kepada lukah yang kedua.

Sampai pada giliran pada lukah yang ketiga hari pun sudah semakin terang, wajah sang pencuri semakin jelas, dengan sangat berhati-hati sampai kepada lukah yang keempat, lirikan dan pandangan mata gadis yang menawan itu semakin liar, gerak geriknya semakin mencurigakan, setelah pandang melayang jauh tak ada yang dikuatirkan gadis itupun turun membangkit lukah dan mengambil ikan yang ada di dalam lukah tersebut. Dalam keadaan mengambil ikan itulah, tiba-tiba datuk dua sekawan keluar dari semak-semak dan langsung dan mempergoki dan menangkap sipencuri, tanpa mengadakan perlawanan sipencuri digiring mereka masuk desa.

GADIS KAYANGAN TERTANGKAP MENCURI IKAN

Pagi itu, matahari mulai memancarkan cahayanya menerangi bumi. Sipencuri yang telah berpraktek selama 3 hari, akhirnya tertangkap tangan. Satu-satunya jalan bagi pencuri harus mengakui perbuatannya yang terlarang, dua sekawan tak mau main hakim sendiri. Sipencuri langsung dihadapkan kepada ninik mamak untuk diadili dan diberi hukuman sesuai dengan perbuatannya.

Sebelum gadis cantik itu diberi hukuman oleh ninik mamak, terlebih dahulu sipencuri ditanya oleh dua sekawan, siapa namanya, nama ayah, negeri asal, nama sukunya dan pekerjaannya.

Gadis itu menjawab: “Nama saya adalah Dayang Pinang, anak dari orang bunian, tidak bersuku dan tidak berkampung. Saya adalah seorang gadis yang diusir oleh ibu dan ayah, karena melanggar larangan dan pantangan dalam masyarakat jin di alam kayangan. Saya tidak dibenarkan lagi kembali ke alam kayangan. Kesetiaanku telah dicabut dan saya tidak mungkin untuk kembali lagi ke asalku, karena hidupku yang terlunta-lunta, kepada siapa saya akan mengadu, saya mencuri karena terpaksa. Disamping pekerjaan ini saya lakukan adalah dengan tujuan dan maksud yang terkandung dalam hati, agar saya ditangkap oleh para penghulu dan datuk di negeri ini. Saya telah tahu, bahwa datuk-datuk penghulu dua sekawan tidak akan menyiksa saya, seandainya saya mereka tangkap sekaligus akan mengetahui nasib dan penderitaan bathin yang sedang saya tanggungkan. Seandainya datuk penghulu memang marah pada kelakuan dan perbuatan saya yang tidak baik dan sangat dilarang di desa ini saya mohon ma’af dan berjanji tidak akan melakukan lagi.”

Mendengar pengakuan gadis yang cantik ini, datuk dua sekawan timbul rasa belas kasihan. Mereka berkata: “ Kami tidak akan menghukum, kami akan menjadikan anak kami. Walaupun kamu berasal dari bangsa jin.” Gadis cantik itu berkata : “karena saya telah mengucapkan janji, maka saya akan mengikuti perintah datuk. Kalau saya dibuang akan jauh, kalau digantung saya akan tinggi.”

Menyimak ucapan dan penyampaian gadis ini, datuk penghulu yang berdua, lembaga adat negeri memutuskan : “Kami dari lembaga adat dari suku-suku yang ada dalam negeri, memutus dengan mempertimbangkan pengakuan dari gadis kayangan serta pernyataan yang disampaikan oleh kedua datuk pimpinan suku dalam negeri, bahwa gadis kayangan ini dikembalikan kepada datuk yang berdua.” Demikian pelaksanaan rapat yang berlangsung selama tiga batang rokok ini. Untuk sementara, sesuai dengan perundingan dua sekawan, gadis cantik ini dibawa dahulu kerumah Datuk Topo, penghulu suku Melayu. Tentang ketentuan selanjutnya akan dimusyawarahkan setelah situasi agak tenang.

Kedua datuk ini mengadakan pertemuan, mendudukkan permasalahan gadis yang mereka pungut sewaktu mencari ikan, maka terjadi pertengkaran antara Datuk Topo dengan Datuk Siak Pokih. Datuk Topo berkata : “Kalau gadis ini tidak didudukkan permasalahannya, nasibnya akan sama dengan nasib yang sebelumnya. Saya menginginkan agar dia masuk kedalam suku melayu, karena suku melayu Negeri Pangean ini termasuk suku yang terbesar. Kalau dia masuk suku melayu berarti pemuda dari suku Paliang dan suku Cermin dapat melamarnya untuk dijadikan istri. Seandainya dia tidak dijadikan anak angkat, maka akan berezki adalah orang luar, kita yang merugi.”

Pendapat dan saran yang diutarakan Datuk Topo ini tidak mendapat sambutan yang baik oleh Datuk Siak Pokih. Mereka masing-masing ingin memiliki gadis cantik itu. Pertengkaran kedua sekawan ini tak kunjung berpangkal dan berujung dan mengarah kepada perkelahian mulut dan akan disudahi oleh bentrokan fisik. Keakraban yang terjalin baik selama ini akan pecah, akibat masing-masing mempertahankan pendapat dan keinginan.

Datuk Topo berkata : “Saya tidak menginginkan persahabatan kita yang baik dan kokoh, seperti kuku dengan jari, sekarang akan pecah dan pecahannya akan sirna karena permasahan ini. Terakhir saya nasehatkan, baik kita adakan pertandingan antara dubalang Suku Melayu dengan Dubalang Suku Paliang. Dubalang yang menang dalam pertandingan perkelahian, maka dialah yang berhak mengawini atau menikahi gadis kayangan itu. Yang kalah janganlah berkecil hati, karena masing-masing telah berusaha untuk mendapatkan gadis tersebut.” Pendapat Datuk Topo ini diterima oleh ketua penghulu. Sebagai tanda setuju perlu disadari: “Semenjak kita muda selalu kompak, serumpun bagaikan serai, sebungkus bagaikan nasi, sedoncing bak besi, seciok bak ayam, setelah tua, senja mulai melintas, cahaya kelabu telah terbentang luas, suatu pertanda umur kita tidak beberapa lagi, ajal telah menunggu, kematian datang menjemput, dunia akan ditinggalkan, kehidupan di akhirat perlu jadi perhatian.” Dasar permupakatan itu ditetapkan hari pertandingan perkelahian.

Datuk Penghulu Sutan menetapkan : “Pertandingan itu akan kita adakan tiga bulan lagi.” Datuk Topo menyetujui apa yang dikatakan oleh Datuk Penghulu Sutan. Hasil perundingan yang telah disepakati oleh Datuk Topo kemudian disampaikan kepada Jurai Monti dan Dubalang. Karena Dubalang suku Paliang pada waktu itu tidak ada, maka menurut para Monti baiknya didatangkan dubalang dari Kuntu Darussalam sebagai dubalang kita, dan dialah yang akan mewakili dubalang suku Paliang dalam pertandingan esok.

Menurut Datuk Siak Pokih : “Dubalang dari Kuntu Darussalam itu memang baik, punya ilmu kebathinan yang banyak.” Seorang Monti bertanya : “Kami dari Jurai Monti ingin tahu siapa nama dari dubalang kita itu?”, jawab Datuk Siak Pokih : “Namanya adalah Simutu Olang” Merupakan dubalang yang terkenal dari daerah Kampar Kiri. “Kalau begitu kami dari Monti setuju yang akan bertanding itu adalah Dubalang Simutu Olang, yang diharapkan akan dapat membawa nama baik Suku Paliang.” Monti yang lain berkata : “Mumpung kita dalam mupakat, saya mengusulkan, sebelum akan bertanding, Simutu Olang sudah berada di kampung ini, gunanya untuk mengatur siasat dan strategi yang sangat perlu kita bicarakan.”

Kata Datuk Siak Pokih : “Dalam bertanding, kita jangan memperlihatkan keangkuhan dan kesombongan, kalau kita kalah, kita akan mengakui kekalahan kita, kita harus mengakui kehebatan dan kepintaran lawan. Juga sebaliknya kalau kita menang mereka harus mengakui kemenangan kita.” Setelah ada kesepakatan perundingan, masing-masing setuju untuk mendatangkan Simutu Olang untuk bertanding, dengan kekompakan para Monti demi melaksanakan keputusan datuk dua sekawan masing-masing setuju, semoga segala rencana akan berjalan dengan sukses dan lancar. Dengan adanya pertandingan ini, dikedai-kedai kopi muncul berbagai pendapat. Pendapat-pendapat itu mulai simpang siur. Disebuah kedai kopi seorang datuk penghulu berkata : “Dahulunya Datuk Topo dan Siak Pokih selalu kompak, mereka tak berselisih paham atau berbeda pendapat. Mereka sangat serasi, bahkan silang sengketapun jauh dari mereka. Mereka selalu ikut mengikuti, seiya sekata. Bak pepatah berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing, manis sama ditelan, pahit sama dimuntahkan, ke bukit sama mendaki kelurah sama menurun. Tuhan maha kaya yang dapat menciptakan isi alam ini terdiri dari berpasangan dan ada yang berlawanan.

Misalnya ada yang pintar dan ada yang bodoh, persatuan lawannya perpecahan, baik lawannya buruk. Benar sekali apa yang diucapkan orang-orang cerdik pandai dahulunya itu. Bak kata pemuka adat : “Sifat yang sama jangan dipertemukan. Yang harus dipertemukan adalah sifat dan pendapat yang berbeda.” Seisi kedai kopi duduk terdiam mendengarkan perkataan datuk itu. Datuk itu meneruskan lagi perkataannya : “Perbedaan itu dalam negara kita ini, membawa kepada kebenaran yang hakiki. Kadangkala sifat yang sama akan membawa kepada kehancuran, sama-sama sabar mendatangkan malapetaka yang membawa kepada kefatalan. Tuhan telah menciptakan mahluk di dunia ini tidak ada yang sama. Kalau sama tapi berbeda. Kata orang sekarang, serupa tapi tak sama.

Sama bentuk fisik, berbeda pada sikap. Sama wataknya tapi bentuk kulit dan mukanya berbeda. Demikian tuhan menjadikan alam ini sangat bervariasi. Ada gunung ada lembah dan ngarai, ada padang pasir ada hutan belantara, ada samudera dan ada daratan yang maha luas. Ada sungai-sungai yang panjang dan berhenti-hentinya air mengalir ke muara. Dilangit ada bulan, bintang, awan dan hujan, cuaca mendung yang tebal dan gelap, sering-sering diiringi cahaya yang terang dan cerah. Hewan berkeliaran diatas dunia ini juga demikian. Ada yang jinak ada yang liar, ada yang buas dan ada yang memamabiak, ada yang besar dan ada yang paling halus bahkan sangat kecil. Diudara berterbangan burung-burung yang bulunya beraneka ragam, ada yang suaranya merdu menarik perhatian orang.

Pokoknya tidak ada yang sama, tempat sama waktu berbeda. Begitu pula Datuk Topo dan Siak Pokih, dulunya kompak, seiya sekata yang kini telah pecah. Dialam ini tidak ada yang kekal dan abadi, sifatnya selalu berobah. Memang begitu sifat dan kodratnya. Kalau kita mendapat dukungan dari penguasa, dukungan itu hanya sementara. Didesa ini yang berkuasa dalam adat adalah datuk penghulu dan ninik mamak. Penghulu punya anak, cucu dan kemenakan. Punya tanah ulayat yang dipersiapkan untuk kemenakan, mamak dalam adat berfungsi biangkan mencabik, gentingkan diputus, membuang jauh, menggantungkan tinggi, menghitam memutihkan. Yang bersalah dihukum yang berhutang membayar, tangan mencencang bahu memikul. Datuk dua sekawan sama-sama berminat untuk memiliki gadis cantik itu, akhirnya mereka bertengkar yang disudahi dengan adu dubalangnya. Inilah salah satu cara yang diambil jalan keluar untuk menghilangkan rasa ketidaksenangan diantara mereka berdua, adil dalam menimbang, tepat dalam mengukur, akan menghasilkan keputusan yang benar, yang akan dipegang erat, dituruti dan dipatuhi oleh anak cucu dan kemenakan dalam nagori.

(Bersambung………………...)


Cerita Rakyat Kuansing
PekanbaruRiau.Com

Cerita Rakyat Melayu Riau - Batu Batangkup

Cerita rakyat melayu ini sejak aku kecil dah pernah kudengar. Dahulu setahuku judulnya “Batu Belah Batu Betangkup” yang berarti batu yang bisa terbuka dan tertutup (terbelah dan kemudian bersatu kembali) seperti kerang. Pada buku Cerita Rakyat Melayu keluaran Adicita diberi judul Batu Batangkup dengan pencerita Farouq Alwi serta disunting oleh Mahyudin Al Mudra dan Daryatun. Buku ini terbitan Oktober 2006 merupakan kerjasama antara Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dengan Adicita Karya Nusa. Berikut saduran/gubahan dari buku tersebut :
Zaman dahulu di dusun Indragiri Hilir, tinggal seorang janda bernama Mak Minah di gubuknya yang reyot bersama satu orang anak perempuannya bernama Diang dan dua orang anak laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan setiap hari menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak Minah juga mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka.

Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.
“Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau menghormati emaknya,” Mak Minah berdoa diantara tangisnya.

Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.

“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak Minah yang panjang.

Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain-main kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya.

“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu…,” ratap mereka. “Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup.

Maka mereka kemudian rajing membantu emak, menyayanngi serta patuh dan menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati emak.

Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.

Putri Tujuh | Cerita Rakyat Dumai

Putri Tujuh adalah cerita Rakyat yang berasal dari Kota Dumai, berikut ceritanya:Dulu, Dumai hanyalah sebuah dusun nelayan yang sepi, berada di pesisir Timur Propinsi Riau, Indonesia. Kini, Dumai yang kaya dengan minyak bumi itu, menjelma menjadi kota pelabuhan minyak yang sangat ramai sejak tahun 1999. Kapal-kapal tangki minyak raksasa setiap hari singgah dan merapat di pelabuhan ini. Kilang-kilang minyak yang tumbuh menjamur di sekitar pelabuhan menjadikan Kota Dumai pada malam hari gemerlapan bak permata berkilauan. Kekayaan Kota Dumai yang lain adalah keanekaragaman tradisi. Ada dua tradisi yang sejak lama berkembang di kalangan masyarakat kota Dumai yaitu tradisi tulisan dan lisan. Salah satu tradisi lisan yang sangat populer di daerah ini adalah cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun. Sampai saat ini, Kota Dumai masih menyimpan sejumlah cerita rakyat yang digemari dan memiliki fungsi moral yang amat penting bagi kehidupan masyarakat, misalnya sebagai alat pendidikan, pengajaran moral, hiburan, dan sebagainya. Salah satu cerita rakyat yang masih berkembang di Dumai adalah Legenda Putri Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan tentang asal-mula nama Kota Dumai.


Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.

Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.

Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.

Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.

Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.

Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.

Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.

Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.

Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik:

Umbut mari mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.
Sumber:
• Disadur dari buku: Legenda Putri Tujuh: Asal Mula Kota Dumai. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2005.

Cara mengatasi Flashdisk yang bermasalah dengan safaety remove hardwarenya

Terkadang kita sering mengalami sedikit masalah dengan flashdisk saat akan di cabut dari portnya,saat mengklik 'Safely Remove Hardware' di pojok kanan bawah...muncul peringatan "Generic Volume cannot be Stopped right Now" hal ini tentu saja bisa membuat panik tapi tentu saja setiap permasalahan pasti ada solusinya oleh karena itu tergerak dari hati yang paling dalam dan juga berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi saya berusaha memberikan salah satu solusinya. untuk mempersingkat ulasan ini maka baiklah saya akan memberikan sedikit petunjuk


ini dia langkah-langkah nya :

1. Klik kanan pada drive USB Flashdisk, klik Properties.

2. Buka Tab "Hardware" terus pilih Flashdisk nya.

3. Klik Properties lagi.

4. Cari tab "Policies".

5. Periksa, apa bagian "Optimized for Performance or quick Removal" ada tanda centang. Kalau ya, sobat gak perlu lakukan "Safely Remove Hardware".

Tapi, jangan lupa sebelum cabut Flashdisk, periksa dulu apakah masih ada program yang pake enggak-paling enggak, cek masih copy file atau enggak.

Gurindam Dua Belas

Gurindam I

Barang siapa tiada memegang agama,sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama. Barang siapa mengenal yang empat,maka ia itulah orang ma'rifat Barang siapa mengenal Allah,suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. Barang siapa mengenal diri,maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari. Barang siapa mengenal dunia,tahulah ia barang yang terpedaya. Barang siapa mengenal akhirat,tahulah ia dunia melarat.

Gurindam II

Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang. Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua temasya. Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.

Gurindam III

Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita.
Apabila terpelihara kuping,
khabar yang jahat tiadalah damping.
Apabila terpelihara lidah,
nescaya dapat daripadanya faedah.
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan,
daripada segala berat dan ringan.
Apabila perut terlalu penuh,
keluarlah fi'il yang tiada senonoh.
Anggota tengah hendaklah ingat,
di situlah banyak orang yang hilang semangat
Hendaklah peliharakan kaki,
daripada berjalan yang membawa rugi.

Gurindam IV

Hati kerajaan di dalam tubuh,
jikalau zalim segala anggota pun roboh.
Apabila dengki sudah bertanah,
datanglah daripadanya beberapa anak panah.
Mengumpat dan memuji hendaklah pikir,
di situlah banyak orang yang tergelincir.
Pekerjaan marah jangan dibela,
nanti hilang akal di kepala.
Jika sedikitpun berbuat bohong,
boleh diumpamakan mulutnya itu pekong.
Tanda orang yang amat celaka,
aib dirinya tiada ia sangka.
Bakhil jangan diberi singgah,
itupun perampok yang amat gagah.
Barang siapa yang sudah besar,
janganlah kelakuannya membuat kasar.
Barang siapa perkataan kotor,
mulutnya itu umpama ketur.
Di mana tahu salah diri,
jika tidak orang lain yang berperi.

Gurindam V

Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

Gurindam VI

Cahari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat.
Cahari olehmu akan guru,
yang boleh tahukan tiap seteru.
Cahari olehmu akan isteri,
yang boleh menyerahkan diri.
Cahari olehmu akan kawan,
pilih segala orang yang setiawan.
Cahari olehmu akan abdi,
yang ada baik sedikit budi,

Gurindam VII

Apabila banyak berkata-kata,
di situlah jalan masuk dusta.
Apabila banyak berlebih-lebihan suka,
itulah tanda hampir duka.
Apabila kita kurang siasat,
itulah tanda pekerjaan hendak sesat.
Apabila anak tidak dilatih,
jika besar bapanya letih.
Apabila banyak mencela orang,
itulah tanda dirinya kurang.
Apabila orang yang banyak tidur,
sia-sia sahajalah umur.
Apabila mendengar akan khabar,
menerimanya itu hendaklah sabar.
Apabila menengar akan aduan,
membicarakannya itu hendaklah cemburuan.
Apabila perkataan yang lemah-lembut,
lekaslah segala orang mengikut.
Apabila perkataan yang amat kasar,
lekaslah orang sekalian gusar.
Apabila pekerjaan yang amat benar,
tidak boleh orang berbuat onar.

Gurindam VIII

Barang siapa khianat akan dirinya,
apalagi kepada lainnya.
Kepada dirinya ia aniaya,
orang itu jangan engkau percaya.
Lidah yang suka membenarkan dirinya,
daripada yang lain dapat kesalahannya.
Daripada memuji diri hendaklah sabar,
biar pada orang datangnya khabar.
Orang yang suka menampakkan jasa,
setengah daripada syirik mengaku kuasa.
Kejahatan diri sembunyikan,
kebaikan diri diamkan.
Keaiban orang jangan dibuka,
keaiban diri hendaklah sangka.

Gurindam IX

Tahu pekerjaan tak baik,
tetapi dikerjakan,
bukannya manusia yaituiah syaitan.
Kejahatan seorang perempuan tua,
itulah iblis punya penggawa.
Kepada segaia hamba-hamba raja,
di situlah syaitan tempatnya manja.
Kebanyakan orang yang muda-muda,
di situlah syaitan tempat berkuda.
Perkumpulan laki-laki dengan perempuan,
di situlah syaitan punya jamuan.
Adapun orang tua yang hemat,
syaitan tak suka membuat sahabat
Jika orang muda kuat berguru,
dengan syaitan jadi berseteru.

Gurindam X

Dengan bapa jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka.
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat.
Dengan anak janganlah lalai,
supaya boleh naik ke tengah balai.
Dengan isteri dan gundik janganlah alpa,
supaya kemaluan jangan menerpa.
Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kafill.

Gurindam XI

Hendaklah berjasa,
kepada yang sebangsa.
Hendaklah jadi kepala,
buang perangai yang cela.
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat.
Hendak marah,
dahulukan hajat.
Hendak dimulai,
jangan melalui.
Hendak ramai,
murahkan perangai.

Gurindam XII

Raja muafakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh inayat.
Kasihkan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta.